Selasa, 16 Desember 2014

FALL IN



Haiiiiii
Kali ini mau ngeposting cerita lagi. Tapi tetap sihyaa ini bukan cerita yang gue buat ._.
Nah penulis cerita ini adalah teman gue, yaitu Dinur Khairunnisa :D
Enjoy it!!

###

Namanya Davin.
            Tidak begitu tampan, tetapi manis dengan satu lesung pipi yang selalu terlihat di pipi kanannya jika ia tersenyum. Matanya coklat, sesuai dengan rambut hitamnya yang dipotong pendek dan terlihat rapi—tidak begitu rapi sebenarnya, hanya sedikit berantakan. Atlit basket andalan SMA 47 dengan tinggi 179 cm dan—sebenarnya—berkacamata. Davin hanya akan mengenakan kacamata jika sedang berada didalam kelas—matanya yang minus 0,80 itu jelas membutuhkan kacamata. Tidak suka warna merah muda, tetapi pemuda itu suka puding strawberry buatan ibunya dan Clara. Ia tidak pernah melewatkan jadwal latihan basket pada hari Selasa dan Kamis setiap pulang sekolah, Clara tau itu.
            Tentu saja, Davin adalah teman dekatnya.
            Sejak pertama kali masuk di kelas XI IPA-3, Davin bertemu Clara dan ia tak bisa jauh dari Clara, seolah-olah jika ia jauh dari Clara maka ia akan kehilangan oksigen. Mereka duduk sebangku, kecuali saat pelajaran olahraga—Davin masih berusaha untuk berbaris didekat gadis itu. Davin terkadang menemani Clara saat berlatih judo, begitu juga dengan Clara. Namun beberapa hari terakhir ini Clara tidak menemani Davin karena pemuda itu hanya sibuk tersenyum dan melambaikan tangan padanya di bangku penonton, tidak fokus latihan sehingga ia dimarahi oleh Pak Dio.
            Clara sendiri selalu kewalahan setiap hari. Ada saja siswi yang menghampirinya sambil membawa kado-kado dengan ukuran beragam dan mengatakan, “Titip ini buat Davin, ya?”. Seperti drama? Clara pun selalu berpikir demikian. Bahkan saat ia akan mengikuti latihan judo di sekolah pun, beberapa siswi berusaha menyelinap hanya untuk menitipkan hadiah. Clara sampai hapal siapa saja siswi-siswi yang sering menitipkan hadiah untuk Davin. Jika sudah begitu, yang bisa Clara lakukan hanyalah memenuhi laci meja Davin dengan semua kado titipan.
            “Lagi?”
            Clara yang tengah sibuk membaca buku catatan Sejarah langsung meoleh, mendapati Davin yang berdiri sambil melongo disamping meja. Jaket biru tua serta tas hitam tersampir di bahu tegas pemuda itu. Rambutnya sedikit berantakan hari ini.
            “Sebanyak ini?” gumam Davin, namun Clara masih bisa mendengarnya dengan jelas. Ia menutup buku catatannya dan duduk menyamping menatap Davin.
            “Kalau yang ini, bukan ulahku. Mereka sendiri yang meletakkannya,” ujar Clara sambil mengangkat bahu. “Mungkin mereka takut kalau aku tidak memberikan kado titipan mereka padamu.”
            Davin mendengus, lalu merunduk sambil berusaha mengeluarkan kado-kado dari dalam lacinya. Beberapa kado jatuh ke lantai, dan Clara langsung membantu temannya yang terlihat—sangat—kesulitan itu.
            “Bagaimana kamu akan membawa semuanya?’ tanya Clara heran sambil memandangi tumpukan kado yang mulai menumpuk diatas meja. “Tasmu pasti tidak muat untuk menampung semuanya.”
            “Biarkan saja,” jawab Davin. “Aku akan mengembalikannya pulang sekolah nanti.”
            “Eh? Memangnya kamu tau, siapa pengirimnya?”
            “Aku akan meletakkannya di sembarang loker,” ujar Davin putus asa. “Aku lelah sekali kalau setiap hari seperti ini.”
            “Berhenti bermain basket, dan kamu akan hidup dengan aman setiap hari.” Clara tertawa. “Bercandaaa.”
            “Jadi, mereka juga akan berhenti menganggapku keren?” timpal Davin. “Begitu?”
            “Aku tidak mengatakannya, dan itu hanya pemikiranmu saja. Tsk.”
            “Kalau begitu, kamu juga pasti akan berhenti menganggapku keren kan?”
            Clara mendelik dan berhenti membantu Davin. Ia menatap pemuda itu dengan tatapan heran. Davin? Keren?
            “Hei, hei. Kamu pikir aku selalu menganggapmu keren?”
            “Aku hanya ingin kamu menganggapku keren,” ujar Davin dengan penuh keyakinan. “Aku akan jadi keren untukmu.”
            Kali ini Clara tidak menyahut. Ia hanya tertawa pelan sambil mencoba menyembunyikan rona merah di pipinya. Setelah membantu Davin, gadis itu memutuskan untuk kembali membaca bukunya.
            “Clara,” panggil Davin. “Kamu kenapa? Bagaimana dengan semua ini? Kamu tidak mau membantuku? Aku kerepotan, Clara.”
            “Urus urusanmu sendiri.”
            Plak!
            “Akh!”
***
            Clara memandangi kotak kecil itu dengan tatapan heran.
            Ia terus menatap kotak yang dibungkus dengan kertas kado dengan motif garis warna-warni itu, kemudian beralih menatap Davin yang duduk disampingnya. Pemuda tinggi itu tengah sibuk menyantap setumpuk pancake dengan sirup maple serta es krim vanilla buatan ibunya sambil menonton televisi yang menayangkan sebuah film action. Bersantai di rumah Davin pada hari minggu adalah agenda rutin yang tidak pernah dilewatkan mereka.
            “Ini apa?” tanya Clara. “Hadiah yang tidak kamu suka?”
            “Tidak,” jawab Davin. “Buka saja, itu untukmu.”
            “Ini bukan kado dari penggemarmu itu, kan?” Clara meringis. “Kamu membuka kado itu, dan kamu tidak suka, lalu kamu membungkusnya lagi kemudian memberikannya padaku. Benar begitu?”
            Davin memutar matanya. Ia meletakkan garpu diatas piring dan meletakkannya diatas meja kaca, kemudian duduk menyamping menghadap Clara yang kini tengah memegang kadonya.
            “Tentu saja bukan. Aku tidak sebodoh dan setega itu. semua kado dari mereka sudah kuletakkan di sembarang loker kemarin.” Davin memutar matanya. “Yang ini, benar-benar hadiah dariku. Hadiah yang sangat serius. Buka saja.”
            Sedikit ragu, Clara akhirnya membuka kado kecil itu. Matanya membulat ketika melihat kotak dengan tulisan Cartier yang tertutup oleh kertas kado. Ia membuka kotak itu, dan sebuah gelang yang berkilau langsung membuatnya bergumam tak percaya.
            “Astaga, Davin. Ini—“ tangannya bergerak menyentuh gelang itu. “—Cartier? Kamu bercanda?!”
            “Itu untukmu,” ujar Davin sambil tersenyum. “Sudah kubilang, kan?”
            Clara tak bisa menahan senyumnya saat Davin mulai mengacak-acak rambut hitamnya yang dibiarkan terurai. Ia kembali melihat gelang yang ada ditangannya, kemudian menyadari ada selembar kertas kecil didalam kotak gelang itu.
            “Kau juga membuat surat?” tanya Clara sambil meraih kertas yang terselip di kotak gelang. Davin terkesiap dan langsung menggeleng, kemudian mencoba menahan gadisitu agar tak membaca suratnya.
            “Jangan dibaca sekarang,” jawab Davin sambil mencoba menyembunyikan kepanikannya. “Baca itu seminggu lagi, jadi kau harus menunggu.”
            “Memangnya ini apa?”
            “Aku tidak akan memberitahumu~” Davin tertawa dan kembali menyantap pancake-nya, sementara Clara mulai merengut dan mencoba memukul-mukul lengan Davin.
            “Cepat katakaaan.”
            “Aku tidak akan mengatakannya sekarang, Clara.”
            “Davin, kamu tau aku tidak suka kejutan seperti ini.”
            “Tidaak~”
            “Daviiin.”
***
            “Pindah?”
            Davin hanya mengangguk, tangannya yang memegang sendok kecil sibuk bergerak menyuapkan puding strawberry dengan vla dingin buatan Clara di rumah gadis itu. Mereka tengah mengerjakan tugas Matematika, Clara memutuskan untuk menyelesaikan semua tugas dirumahnya karena keluarganya sedang pergi dan ia tidak suka tinggal sendirian di rumah.
            “Apa kamu pindah karena...perkataanku kemarin?” tanya Clara. “Karena aku menganggapmu tidak keren.”
            Davin tertawa, dan ia nyaris tersedak puding yang baru saja masuk kedalam mulutnya.
            “Jangan berlebihan, aku pindah bukan karena itu.”
            “Lalu apa?” desak Clara tidak sabaran. “Aku tidak suka kalau kamu merahasiakan sesuatu seperti ini.”
            “Ini terlalu cepat, ya?” Davin meringis. “Aku tau, aku sendiri juga tidak menyangka ini akan terjadi.”
            Clara tidak menyahut. Ia menunggu Davin kembali berbicara. Saat pemuda itu menghela napas dan menyendokkan puding dengan lesu, Clara tau sesuatu yang buruk telah terjadi.
            “Sudah dua tahun lebih, dan aku baru mengetahuinya sekarang,” gumam Davin. “Begitu aku mengerti, aku langsung tau kalau permasalahan ini tidak akan pernah berakhir. Mungkin tidak ada ujungnya.”
“Aku tidak tau bagaimana harus mengatakannya—“ Davin meringis. “—aku harus ikut dengan ibuku. Kembali ke luar negeri.”
            Kali ini Clara tau pasti kemana arah pembicaraan Davin. Ia memandangi temannya itu dengan tatapan sedih, mencoba menghiburnya dengan menepuk-nepuk pelan lengan pemuda itu sambil tersenyum.
            “Semuanya akan baik-baik saja,” ujar Clara menenangkan. “Kamu temanku, Davin. Aku yakin semuanya akan baik-baik saja, aku akan menemanimu.”
            Davin membalas senyum Clara dengan senyuman lesu, sambil menunduk ia meraih tangan Clara lalu mengusap gelang Cartier yang ternyata dipakai gadis itu.
            “Terima kasih.”
***
            Clara melangkahkan kakinya dengan ringan menuju ruang kelas. Gelang Cartier di tangan kanannya berkilau ketika tangannya yang membawa sebuah kotak makan siang terangkat. Sambil tersenyum, Clara duduk di bangkunya dan memikirkan sesuatu. Ia mempunyai rencana ‘rahasia’ untuk Davin hari ini. Davin pasti suka, pikirnya.
            Clara terus melihat-lihat kearah pintu kelas, menunggu Davin masuk dengan senyum lebarnya dan duduk dengan posisi aneh disebelahnya. Namun hingga bel tanda masuk berbunyi dan Pak Teo sudah masuk ke kelas, Davin tidak juga datang.
            Apa dia terlambat?
            Tidak, Davin tidak pernah sekalipun terlambat.
            Lalu, kemana dia?
***
            Seminggu sudah berlalu, dan Davin masih tidak masuk sekolah hari itu. Pikiran Clara tidak pernah fokus setiap kali ia memandangi meja kosong disebelahnya. Tidak ada Davin. Tidak ada kado-kado yang menumpuk. Tidak ada lagi yang menemuinya untuk menitipkan kado pada Davin. Semuanya menjadi sangat berbeda.
            Clara masih berjalan menyusuri koridor sambil menunduk. Ia terlihat murung. Entah kenapa, Clara selalu memikirkan Davin dan juga saat-saat mereka menghabiskanwaktu bersama. Lalu ia teringat sesuatu.
            “Baca itu seminggu lagi, jadi kau harus menunggu.”
            Surat Davin!
            Dengan tergesa gadis itu membuka-buka tasnya, mencari secarik kertas yang selalu ia selipkan di dompetnya. Ketika ia menemukan kertas itu, seseorang menarik tangannya menuju kelas. Rupanya itu adalah Ana, teman sekelas Clara.
            “Hei, ada apa?” tanya Clara heran sekaligus panik. “Kenapa?”
            “Ada pesan yang sangat penting untukmu,” jawab Ana tanpa menoleh menatap Clara. “Kau harus membacanya sekarang.”
            Kali ini Clara hanya mengikuti langkah kaki Ana. Sambil memegang erat kertas dari Davin, ia memasuki kelas yang sudah dipenuhi beberapa siswa dan siswi yang tengah menatap papan tulis.
            “Bacalah, disana.” Ana menunjuk papan tulis dan Clara hanya mengerjapkan matanya. Ia berdiri di depan papan tulis dan membaca tulisan disana, tulisan yang sangat ia kenali.
            ‘Hai, Clara.
            Aku tau, meninggalkan pesan di papan tulis bukanlah hal yang keren. Semua orang bisa saja membacanya, kan? Tapi pesan ini tetap keren, karena yang menulisnya adalah aku. Aku keren.’

            Clara tertawa dan mencoba menahan air mata yang mulai keluar, lalu kembali membaca tulisan itu lagi.
            ‘Clara, terima kasih banyak. Untuk 200 hari yang menyenangkan, untuk puding strawberry yang enak, untuk jawaban-jawaban pekerjaan rumah dan saat ulangan, terima kasih banyak.
            Disaat yang tepat, aku berjanji, Clara. Kita akan bertemu lagi dan aku akan semakin keren untukmu. Ah, aku tidak bisa jadi romantis, tapi setidaknya aku keren.
            Clara, 1 4 3... –D
            P.S : Kau bisa membaca surat itu sekarang J

            “Ini dari Davin, kan?” tanya Ana. “Apa dia akan pindah?”
            Clara tidak menjawab. Ia hanya mengangkat bahunya dan matanya masih menatap tulisan itu. Clara merunduk dan menatap kertas yang dipegangnya, kemudian ia berlari keluar kelas menuju lapangan.
            Tidak ada apa-apa disana.
            Ya, Clara tau itu. Ini bukanlah drama yang sering ia lihat. Davin tidak akan muncul tiba-tiba sambil membawa bunga dan menunjukkan senyum perpisahan. Davin tidak akan datang lalu memeluknya dan mengatakan, “Maafkan aku.”
            Clara kemudian membuka kertas yang sedari tadi dipegangnya dengan erat, lalu mulai membaca tulisan disana.

            Clara...
            Kamu adalah gadis terbaik yang pernah aku temui. Astaga, apa istilah itu terlalu berlebihan? Kamu benar-benar teman baikku. 200 hari terasa tidak membosankan, aku menyukainya. Aku tidak romantis, aku tidak tau apa yang harus aku tulis agar membuatmu tersentuh dan menangis. Aku tidak bisa menulisnya. Tapi yang jelas, Clara.
            Aku menyukaimu.
            Mungkin ini terlambat, tapi aku tidak mau menyakiti perasaanmu. Mungkin juga lebih baik jika aku mengatakannya saat aku akan pergi, karena jika aku mengatakannya sebelum aku pergi, aku akan meninggalkanmu. Aku tidak suka meninggalkanmu, Clara.
            Clara, aku yakin kita akan bertemu lagi. Jika kita bertemu lagi, aku akan membawamu pergi dan aku akan terus mengatakan ‘aku menyukaimu’ setiap kakiku melangkah, karena aku benar-benar menyukaimu.
            Aku tidak romantis, tapi aku keren. Benar, kan?
            -Davin

            Clara tak bisa menahan air matanya lagi. Ia melipat kertas itu dan mencoba mengusap pipinya yang mulai basah. Gelang Cartier ditangannya kembali berkilau terkena sinar matahari. Clara menatap gelang itu sebentar, sebelum akhirnya mengangkat kepala dan memandangi langit yang teduh.

            I’ve always thought that one day...
            You would sprout wings...
            And fly off somewhere with me...

We will fly off somewhere...
Together...
###
 And this is another cove of  "Fall In"