Heihooo...
Ini cerita fiksi pertama yang gue post di blog gue.
Cerita ini yang pasti bukan gue yang buat ._. Because my friend who made this fiction! And she is Eka Rahmawati S. :D
Enjoy it!!
*
*
*
*
Kevin berjalan menuju lokernya untuk mengambil handuk dan
minuman. Ia merasa sangat lelah setelah latihan basket. Hanya saja, terasa
sangat aneh saat ia berjalan sepanjang lorong sekolah. Ia merasa ada seseorang
yang mengikutinya. Kevin berhenti dan melihat ke belakang. Tak ada siapapun. Ia
melanjutkan langkah kakinya setelah benar-benar meyakinkan dirinya bahwa itu
hanya perasaannya saja.
Segera Kevin buka loker birunya itu.
Tiba-tiba saja secarik kertas berwarna merah muda terjatuh. Ia ambil kertas
tersebut dan membaca isinya. Sangat aneh. Lembar kertas itu hanya berisi tanggal,
bulan, tahun dan jam. Tertulis di bawahnya, “I love You”. Kevin memerhatikan dengan seksama dan mencoba untuk
mengartikan isi kertas itu. Tentu saja, itu adalah waktu dimana ia dan Nita
tepat satu bulan berpacaran, pikirnya. Kevin tersenyum.
|||
“Hai Nita, apa kau sedang belajar?”
Tanya Tiara yang baru saja masuk ke kelas. Ia berjalan mendekati Nita yang
sedang serius membaca di pojok kelas.
“Oh, hai Tiara. Aku hanya membaca
novel. Ehm, kenapa kau mengenakan sarung tangan?” Tanya Nita heran melihat
sarung tangan merah menyelimuti kedua tangan Tiara.
“Aku sedang sakit, karena merasa
kedinginan, aku kenakan sarung tangan ini. Oh iya, apa kau mau apel?” ucap
Tiara sambil menunjukkan sebuah apel merah yang segar.
“Kau sedang sakit, Tiara. Sebaiknya
kau saja yang memakan apel itu sendiri. Buah baik untuk kesehatan.” Nita
tersenyum.
“Ah, ayolah. Bantu aku menghabiskan
apel ini, aku tak begitu menyukai buah-buahan. Kumohon…” Tiara menunjukkan
wajah sedihnya.
“Kau ini… Baiklah, aku akan
membantumu. Tapi, bagaimana cara membelah apel itu?”
“Terima kasih… Tenanglah, aku membawa
pisau.” Ucap Tiara. Lalu, ia bergegas mengambil pisau yang ia maksud di tasnya.
|||
Hari
sudah sangat sore. Tidak ada lagi murid di sekolah kecuali tim basket yang
sedang latihan. Begitu selesai latihan, Kevin segera berlari menuju kelas atas.
“Jangan sampai Nita marah padaku”
gumamnya saat ia sadar bahwa ia terlambat menemui kekasihnya itu.
Kevin masuk ke kelas dengan langkah
kaki yang pelan. Ia melihat seorang gadis sedang meletakkan kepalanya di atas
meja. Kevin tau bahwa itu adalah Nita. Mungkin Nita tertidur karena terlalu
lama menunggu Kevin. Kevin berjalan mendekatinya. Semakin dekat, Kevin mencium
sesuatu yang sangat menyengat.
“Nita?” ucap Kevin. Namun tak ada
respon apapun. Kevin menyentuh tangan kirinya. Terasa sangat dingin. Kevin
merasa bersalah karena membiarkan Nita menunggu lama sedangkan Nita sedang
sakit. Kevin menyandarkan tubuh Nita pada kursi.
“Nita, maafkan aku. Kurasa kau sakit.
Ayo, aku akan membawamu ke rumah sa…” Kevin berhenti berbicara. Ia langsung
melepaskan tangannya dari tangan Nita. Kevin sangat terkejut. Jantungnya
berdegup cepat. Keringat dingin tiba-tiba menyusuri tubuhnya. Kakinya bergetar.
Nafasnya pun tak bisa ia atur. Kevin merasa sedih, dan takut. Ia berlari
meninggalkan Nita begitu saja. Ia keluar dari kelas itu dan berbelok ke kanan
menuju lorong. Di sebelah kiri pintu kelas, Evan melihatnya. Evan bingung saat
melihat Kevin yang berlari dengan terburu-buru dari kelas.
“Hah, orang itu. Pasti ia terlambat
menemui Nita lagi.” Ucap Evan sambil berjalan.
Evan berhenti melangkahkan kakinya
saat berada di depan kelas. Ia tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Evan
melihat dengan jelas sosok Nita yang sedang duduk bersandar di kursi pojok
kelas dengan keadaan mengenaskan. Seragamnya dipenuhi dengan darah. Evan tak
menyangka bahwa Kevin adalah orang yang sangat tega melakukan semua ini pada
Nita, pacarnya sendiri.
|||
Waktu sudah menunjukkan pukul 8 pagi.
Evan sudah duduk dari tadi untuk menunggu Tiara. Mereka berdua ada janji hari ini
di sebuah kafe kecil. Evan hanya ingin menceritakan kejadian kemarin pada
Tiara. Tak lama kemudian, tampak dari kejauhan sosok Tiara yang mengenakan
jaket biru dengan rok mini hitam dan dipadukan dengan stocking hitam berjalan
dengan flat shoes birunya. Rambut coklatnya yang panjang bergelombang diikatnya
hingga meninggalkan kesan fresh di wajah cantiknya.
“Evan, maaf karena aku telat.” Ujar
Tiara sambil duduk tepat di hadapan Evan.
“Tak apa. Tapi, boleh aku tahu kenapa
kau terlambat? Maksudku, ini hari Minggu. Tak ada apapun yang harus kita
lakukan.” Tanya Evan sambil menyeduh secangkir cappuccino hangatnya.
“Akhir-akhir ini aku berkelahi dengan
orang tuaku. Kemarin, aku sempat bertengkar hebat dengan mereka dan memutuskan
untuk hidup sendiri. Jadi, tadi pagi aku harus mengemaskan rumahku secara
mandiri. Aku hampir lupa membuang sampah, jadi aku sedikit terlambat.” Jelas
Tiara sambil tersenyum manis.
“Baiklah, aku mengerti. Oh, itu
cappuccino untukmu. Sudah aku pesankan tadi.” Ucap Evan sambil menunjuk cangkir
putih yang ada di depan Tiara.
“Terima kasih. Boleh aku tahu, kenapa
kau mengajakku ke sini?” Tanya Tiara. Ia menyeduh cappuccino nya sebelum
dingin.
“Aku hanya ingin mengatakan sesuatu
padamu. Menurutku, Kevin itu sangat aneh. Tidak, dia tidak aneh. Maksudku ia
sangat bodoh!” Evan memandang ke arah lain dengan wajah yang kesal.
“Apa maksudmu? Menurutku, Kevin itu
orang yang baik.”
“Ya, aku juga sempat berfikiran
seperti itu. Hanya saja, kemarin aku
lihat ia berlari dengan tergesa-gesa dari ruang kelas atas. Saat aku lihat, di
dalam kelas itu…” Evan berhenti berbicara. Ia menatap Tiara.
“Ada apa di dalam kelas itu?” Tanya Tiara
dengan muka bingung.
“Aku akan menceritakannya padamu,
tapi, berjanjilah kau tak akan menyebarkannya pada yang lain.” Kata Evan yang
kemudian dibalas dengan anggukan kepala Tiara.
“Kemarin, aku melihat Nita sedang
duduk bersandar di pojok kelas itu. Tapi, seragamnya penuh dengan darah.
Wajahnya juga pucat. Aku yakin, Kevin yang melakukan semua itu. Dia benar-benar
sangat bodoh! Tega-teganya ia melakukan hal sekeji itu terhadap kekasihnya
sendiri!” cerita Evan yang kembali menunjukkan wajah kesalnya.
“Apa? Nita? Aku… Aku sangat tak
menyangka. Padahal, Nita sangat baik padaku. Kemarin ia membantuku menghabiskan
sebuah apel.” Ujar Tiara. Evan melihat wajah Tiara yang sangat jelas melukiskan
kesedihannya. Seketika Evan teringat bahwa kemarin ia sempat melihat potongan
apel di tangan kanan Nita.
“Apel itu… kau yang memberinya?” Tanya
Evan.
“Ya. Kemarin aku membawa sebuah apel
merah segar. Aku ingin memakannya, tetapi aku tak pernah bisa menghabiskan satu
apel seorang diri. Jadi, aku menghampiri Nita dan memintanya untuk menolongku
menghabiskan setengah apel itu. Langsung saja aku ambil pisau dan kubelah dua
bagian Nita.” Cerita Tiara. Evan hanya menganggukkan kepala.
Tiara melirik jam tangan coklatnya.
“Evan, aku harus pergi sekarang. Ada sesuatu yang harus ku urus.”
“Oh, ya sudah kalau begitu. Pergilah,
akan kubayar semuanya.”
“Tidak perlu, aku saja yang bayar.
Terima kasih sudah mengajakku kemari.” Tiara tersenyum sambil berlari menuju
kasir. Ia membayar dua cangkir cappuccino miliknya dan Evan, lalu bergegas
keluar dari kafe itu.
Evan
hanya berjalan santai menyusuri jalan pagi itu. Sambil berjalan sambil
berfikir. Entah kenapa perasaannya mengatakan sesuatu yang aneh baru saja
terjadi. Ia melihat Tiara yang agak jauh di depannya berjalan menuju suatu
arah. Evan hanya mengikuti hati nuraninya untuk mengikuti Tiara secara
diam-diam.
Evan
mengikuti Tiara hingga ke rumahnya. Ia melihat Tiara tidak langsung masuk ke rumahnya,
namun mengecek tempat sampah di depan rumahnya terlebih dahulu sebelum akhirnya
berjalan masuk ke dalam rumah. Evan langsung pergi begitu saja karena tak
menyadari adanya sesuatu yang aneh pada Tiara.
“Ah,
itu pasti hanya perasaanku saja. Mana mungkin gadis sebaik, secantik dan
sepintar dia melakukan sesuatu yang buruk. IQ nya kan tinggi.” Gumam Evan
sambil berjalan menyusuri jalanan pagi itu. Ia terdiam sejenak sambil mengingat
sesuatu. Sekarang, ia sedikit merasa takut. Namun, Evan tak mau menyimpulkan
sesuatu sendiri, ia berencana menanyakan suatu hal kepada Tiara besok, saat
pulang sekolah.
|||
Drrrt… Drrrt… Handphone
Evan bergetar. Evan langsung mengecek pesan masuk. Ternyata itu adalah pesan
dari Andy.
“Aku
hanya ingin memberi tahu bahwa selama seminggu ini kita tidak sekolah. Sekolah
kita akan digunakan untuk penyelidikan polisi. Tolong beritahukan kepada yang
lain.” Begitu kira-kira pesan singkat dari sang ketua OSIS. Evan langsung teringat
akan rencananya untuk menanyakan beberapa hal pada Tiara. Ia pun mengajak Tiara
untuk bertemu di taman besok sore. Tiara menyetujuinya.
|||
Sore
ini, taman yang berada dekat dengan rumah Tiara itu sangat sepi. Tak ada
siapapun di sana. Ya, memang seperti ini. Setiap sore di hari senin,
orang-orang sibuk dengan sekolah dan kantor mereka atau mungkin asyik di rumah
dengan tugas-tugas lainnya.
Tampak
Tiara sedang berlari sambil membawa sesuatu di tangannya. Begitu melihat Evan
yang sedang duduk menunggu dirinya di bawah pohon, Tiara langsung menuju ke
arah Evan.
“Hai,
apakah aku telat lagi?” Tanya Tiara yang langsung duduk.
“Hmmm,
sebenarnya iya. Tapi tak apa, kau hanya terlambat beberapa menit. Lebih cepat
dari kemarin.” Jawab Evan sambil tersenyum. Namun, dirinya tetap saja merasa
sedikit takut.
“Baguslah…
Ini, aku bawakan kau es teh segar.” Tiara memberikan es teh yang ada di tangan
kanannya pada Evan. Satunya lagi, ia minum sendiri untuk dirinya. Evan
mengambil es teh yang diberikan Tiara padanya. Evan hanya melihat Tiara yang
tampak terburu-buru menghabiskan teh miliknya. Dalam sekejap, teh milik Tiara
habis dan hanya menyisakan es batu saja.
“Hey,
apa kau begitu haus?” Tanya Evan yang meminum es tehnya dengan santai.
“Haha,
ya… Aku merasa sangat gerah dan haus. Minumlah sebelum es itu mencair.” Tiara
tertawa.
“Ya,
ya… Hmm, apa boleh aku bertanya sesuatu padamu?”
“Tentu
saja. Tanyakan segala hal yang kau inginkan.”
“Aku
hanya menilai dirimu sebagai seorang Tiara yang baik, cantik, manis, dengan
banyak prestasi dan IQ yang tinggi. Maaf aku menanyakan ini, tapi… Mmmm… Apakah
kau itu… Seorang...” Evan tak mampu mengatakannya. Ia takut jika ia salah dan
akan menyakiti hati Tiara.
“Ya.”
Jawab Tiara singkat. Evan menoleh ke arah Tiara.
“Ya
untuk apa? Aku belum bertanya apapun padamu.” Tanya Evan dengan terheran-heran.
Tiara hanya tersenyum dan tak menjawab apapun. Evan melihat tehnya yang semakin
banyak karena es yang sudah mencair. Ia meminumnya untuk menghilangkan rasa
gugup dan dahaga.
“Cantik,
terkesan baik, pintar dengan IQ yang tinggi, tak terlalu suka bersosialisasi,
dan sangat tertutup. Itulah aku. Aku tau kau mengerti, kukira kau sangat bodoh.
Jadi, ya… aku adalah seorang gadis dengan cirri-ciri seorang… Kau tau itu.”
Tiara kembali tersenyum pada Evan. Namun, kali ini senyuman itu adalah senyuman
yang sangat menakutkan baginya. Entah kenapa, tubuh Evan terasa semakin lemah.
“Kau
sudah mendapatkan apa yang kau mau. Ku rasa hari sudah semakin gelap. Aku akan
pulang duluan, oke? Aku harus membersihkan rumahku. Maaf aku harus
meninggalkanmu seperti ini, kuharap kau mimpi indah malam nanti. Sampai jumpa.”
Tiara berlari sambil melambaikan tangannya pada Evan yang sudah lemah, terjatuh
tak berdaya.
|||
Sudah
empat hari Evan tak pernah mengajak Tiara bertemu lagi. Tiara tidak heran lagi
karena ia sudah tahu betul apa yang Evan lakukan. Pasti dia senang bermimpi
indah di sana, pikir Tiara.
Ia
melangkahkan kakinya menuju kamarnya dengan membawa gelas putih bergambar panda
yang berisi kopi hangat. Tiara duduk di sofa dan langsung menghidupkan
televisi. Akhir-akhir ini ia tak sempat menonton televise untuk sekedar mencari
info terbaru. Ia terlalu asik dengan tugas-tugas sekolahnya.
Begitu
menghidupkan televisi, langsung muncul berita tentang pembunuhan misterius.
Tertera secara jelas tempat kejadiannya. Tiara memerhatikan dengan seksama.
Benar saja, semua itu terjadi di sekitar perumahan Tiara, tepatnya di taman
yang berada tak jauh dari rumahnya. Sambil menyeduh kopinya, ia memerhatikan
berita di televisi dengan seksama.
“Percuma
saja menyelidiki siapa pelakunya.” Gumam Tiara. Ia tersenyum tipis sambil
memandangi foto dan nama korban di televisi dengan tatapan sinisnya yang
menakutkan. Ia langsung mematikan televisinya, “Membosankan, ini tak misterius
sama sekali!”. Diraihnya handphone yang berada di atas meja tepat di sebelah
sofa. Itu adalah waktu yang sangat tepat karena baru saja ada panggilan masuk
dari Kevin. Ia langsung mengangkat panggilan itu dengan semangat. Kevin sangat
jarang menghubungi Tiara sejak ia dimiliki oleh Nita.
“Halo?”
“Halo,
Tiara. Apa kau mendapat pesan masuk dari teman-teman yang lainnya?” Tanya Kevin
yang terdengar sangat terburu-buru.
Tiara
menyeduh kopinya yang masih hangat, “tidak ada pesan masuk hari ini.”
“Begini,
akan aku ceritakan padamu. Sebenarnya… Oh, tapi, sebelumnya aku ingin kau
percaya padaku apapun yang terjadi… Aku benar-benar… Maksudku, aku tak tahu
apapun… Dia hanya… Ya, aku masuk dan…” Kevin sangat terbata-bata. Ia terdengar
seperti seorang penjahat yang tertangkap basah sedang melakukan kejahatan.
“Kevin,
tenanglah. Kontrol dirimu, bersikaplah tenang terlebih dahulu.” Tiara memotong
pembicaraan Kevin. Ia sangat tidak fokus dengan apa yang Kevin katakan.
Kevin
terdiam sejenak untuk menenangkan dirinya. Ia mencoba untuk mengontrol dirinya,
menarik nafas panjang dan menghembuskannya kembali.
“Kau
sudah tenang? Baiklah, ceritakan sekarang.” Ucap Tiara.
“Baiklah…
Begini, aku sangat terkejut saat mendengar kematian Evan yang sangat misterius.
Kau pasti tahu bahwa Evan adalah temanku yang sangat baik. Aku selalu
menceritakan semua kekesalan atau kebahagiaan yang aku rasakan padanya.” Jelas
Kevin dengan nada yang lemah. Ia terlalu sedih untuk menceritakannya.
“Ya,
aku lihat tadi di berita. Aku juga begitu kaget saat mengetahuinya. Pasalnya,
kejadian itu terjadi di taman yang berada sangat dekat dengan rumahku.
Tenanglah Kevin, aku sangat mengerti perasaanmu.”
“Ya,
aku sangat amat sedih. Kesedihanku semakin bertambah saat penyelidikan kematian
Nita. Setelah diteliti dengan seksama, polisi mengatakan bahwa hanya ada satu
sidik jari di tubuhnya. Yaitu sidik jariku tepat di tangan kiri Nita. Jadi, aku
dituduh sebagai penyebab kematian Nita. Padahal aku tak tahu apapun…” Kevin
meneteskan air matanya. Ia sudah tak tahan lagi.
“Apakah
kau merasa sangat sedih? Maksudku, tentang tuduhan kepada dirimu sebagai
pelaku…” Tanya Tiara.
“Ya,
sedih, kesal, dan kecewa. Aku juga merasa begitu terpukul atas kematian Nita
pada hari dimana itu adalah hari jadi kami satu bulan.”
“Jika
kau benar-benar ingin semua kesedihanmu hilang untuk selamanya dan tuduhan itu
mereka lepaskan darimu, datanglah ke rumahku. Aku yakin bisa membuatmu
bahagia.” Usul Tiara. Kevin langsung menyetujuinya karena kini ia sangat putus
asa. Hidupnya seperti hampa tanpa harapan.
Sesampainya
Kevin di rumah Tiara, Kevin begitu kaget. Tiara menyambut Kevin dengan sambutan
yang hangat. Ia mempersilahkan Kevin untuk masuk dan duduk santai di ruang
tamunya. Tiara juga duduk bersebelahan dengannya. Tak lupa Tiara menyiapkan dua
cangkir kopi hangat untuk dirinya dan Kevin.
“Kau
ingin hidup bahagia tanpa kesedihan dan tuduhan apapun, maka aku berikan semua
ini untukmu.” Tiara menatap Kevin disertai dengan senyuman manisnya.
“Tiara,
kenapa kau ini? Apa hanya ini caranya?” Tanya Kevin dengan rasa takut yang luar
biasa. Ia mengelap keringatnya dengan punggung tangannya yang dingin dan
gemetar.
“Ya,
hanya ini caranya. Sebenarnya, aku mencintaimu, Kevin, aku sangat
menginginkanmu. Aku tak akan membiarkan Nita memilikimu selamanya. Aku juga
membenci orang yang menghalang-halangi rencanaku, Evan contohnya. Jadi,
sekarang aku bersamamu, aku ada di sampingmu, mendampingimu, dan hanya maut
yang akan memisahkan kita. Kuharap kita akan bahagia dan bermimpi indah setiap
malam.” Jelas Tiara sambil memeluk Kevin. Kevin hanya terdiam dan meneteskan
air matanya.