Selasa, 18 November 2014

THE RIDDLE








 Heihooo...
 Ini cerita fiksi pertama yang gue post di blog gue.
Cerita ini yang pasti bukan gue yang buat ._. Because my friend who made this fiction! And she is Eka Rahmawati S. :D
Enjoy it!!

*
*
*


          Kevin berjalan  menuju lokernya untuk mengambil handuk dan minuman. Ia merasa sangat lelah setelah latihan basket. Hanya saja, terasa sangat aneh saat ia berjalan sepanjang lorong sekolah. Ia merasa ada seseorang yang mengikutinya. Kevin berhenti dan melihat ke belakang. Tak ada siapapun. Ia melanjutkan langkah kakinya setelah benar-benar meyakinkan dirinya bahwa itu hanya perasaannya saja.
          Segera Kevin buka loker birunya itu. Tiba-tiba saja secarik kertas berwarna merah muda terjatuh. Ia ambil kertas tersebut dan membaca isinya. Sangat aneh. Lembar kertas itu hanya berisi tanggal, bulan, tahun dan jam. Tertulis di bawahnya, “I love You”. Kevin memerhatikan dengan seksama dan mencoba untuk mengartikan isi kertas itu. Tentu saja, itu adalah waktu dimana ia dan Nita tepat satu bulan berpacaran, pikirnya. Kevin tersenyum.

|||

          “Hai Nita, apa kau sedang belajar?” Tanya Tiara yang baru saja masuk ke kelas. Ia berjalan mendekati Nita yang sedang serius membaca di pojok kelas.
          “Oh, hai Tiara. Aku hanya membaca novel. Ehm, kenapa kau mengenakan sarung tangan?” Tanya Nita heran melihat sarung tangan merah menyelimuti kedua tangan Tiara.
          “Aku sedang sakit, karena merasa kedinginan, aku kenakan sarung tangan ini. Oh iya, apa kau mau apel?” ucap Tiara sambil menunjukkan sebuah apel merah yang segar.
          “Kau sedang sakit, Tiara. Sebaiknya kau saja yang memakan apel itu sendiri. Buah baik untuk kesehatan.” Nita tersenyum.
          “Ah, ayolah. Bantu aku menghabiskan apel ini, aku tak begitu menyukai buah-buahan. Kumohon…” Tiara menunjukkan wajah sedihnya.
          “Kau ini… Baiklah, aku akan membantumu. Tapi, bagaimana cara membelah apel itu?”
          “Terima kasih… Tenanglah, aku membawa pisau.” Ucap Tiara. Lalu, ia bergegas mengambil pisau yang ia maksud di tasnya.

|||

         
Hari sudah sangat sore. Tidak ada lagi murid di sekolah kecuali tim basket yang sedang latihan. Begitu selesai latihan, Kevin segera berlari menuju kelas atas.
          “Jangan sampai Nita marah padaku” gumamnya saat ia sadar bahwa ia terlambat menemui kekasihnya itu.
          Kevin masuk ke kelas dengan langkah kaki yang pelan. Ia melihat seorang gadis sedang meletakkan kepalanya di atas meja. Kevin tau bahwa itu adalah Nita. Mungkin Nita tertidur karena terlalu lama menunggu Kevin. Kevin berjalan mendekatinya. Semakin dekat, Kevin mencium sesuatu yang sangat menyengat.
          “Nita?” ucap Kevin. Namun tak ada respon apapun. Kevin menyentuh tangan kirinya. Terasa sangat dingin. Kevin merasa bersalah karena membiarkan Nita menunggu lama sedangkan Nita sedang sakit. Kevin menyandarkan tubuh Nita pada kursi.
          “Nita, maafkan aku. Kurasa kau sakit. Ayo, aku akan membawamu ke rumah sa…” Kevin berhenti berbicara. Ia langsung melepaskan tangannya dari tangan Nita. Kevin sangat terkejut. Jantungnya berdegup cepat. Keringat dingin tiba-tiba menyusuri tubuhnya. Kakinya bergetar. Nafasnya pun tak bisa ia atur. Kevin merasa sedih, dan takut. Ia berlari meninggalkan Nita begitu saja. Ia keluar dari kelas itu dan berbelok ke kanan menuju lorong. Di sebelah kiri pintu kelas, Evan melihatnya. Evan bingung saat melihat Kevin yang berlari dengan terburu-buru dari kelas.
          “Hah, orang itu. Pasti ia terlambat menemui Nita lagi.” Ucap Evan sambil berjalan.
          Evan berhenti melangkahkan kakinya saat berada di depan kelas. Ia tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Evan melihat dengan jelas sosok Nita yang sedang duduk bersandar di kursi pojok kelas dengan keadaan mengenaskan. Seragamnya dipenuhi dengan darah. Evan tak menyangka bahwa Kevin adalah orang yang sangat tega melakukan semua ini pada Nita, pacarnya sendiri.

|||

          Waktu sudah menunjukkan pukul 8 pagi. Evan sudah duduk dari tadi untuk menunggu Tiara. Mereka berdua ada janji hari ini di sebuah kafe kecil. Evan hanya ingin menceritakan kejadian kemarin pada Tiara. Tak lama kemudian, tampak dari kejauhan sosok Tiara yang mengenakan jaket biru dengan rok mini hitam dan dipadukan dengan stocking hitam berjalan dengan flat shoes birunya. Rambut coklatnya yang panjang bergelombang diikatnya hingga meninggalkan kesan fresh di wajah cantiknya.
          “Evan, maaf karena aku telat.” Ujar Tiara sambil duduk tepat di hadapan Evan.
          “Tak apa. Tapi, boleh aku tahu kenapa kau terlambat? Maksudku, ini hari Minggu. Tak ada apapun yang harus kita lakukan.” Tanya Evan sambil menyeduh secangkir cappuccino hangatnya.
          “Akhir-akhir ini aku berkelahi dengan orang tuaku. Kemarin, aku sempat bertengkar hebat dengan mereka dan memutuskan untuk hidup sendiri. Jadi, tadi pagi aku harus mengemaskan rumahku secara mandiri. Aku hampir lupa membuang sampah, jadi aku sedikit terlambat.” Jelas Tiara sambil tersenyum manis.
          “Baiklah, aku mengerti. Oh, itu cappuccino untukmu. Sudah aku pesankan tadi.” Ucap Evan sambil menunjuk cangkir putih yang ada di depan Tiara.
          “Terima kasih. Boleh aku tahu, kenapa kau mengajakku ke sini?” Tanya Tiara. Ia menyeduh cappuccino nya sebelum dingin.
          “Aku hanya ingin mengatakan sesuatu padamu. Menurutku, Kevin itu sangat aneh. Tidak, dia tidak aneh. Maksudku ia sangat bodoh!” Evan memandang ke arah lain dengan wajah yang kesal.
          “Apa maksudmu? Menurutku, Kevin itu orang yang baik.”
          “Ya, aku juga sempat berfikiran seperti  itu. Hanya saja, kemarin aku lihat ia berlari dengan tergesa-gesa dari ruang kelas atas. Saat aku lihat, di dalam kelas itu…” Evan berhenti berbicara. Ia menatap Tiara.
          “Ada apa di dalam kelas itu?” Tanya Tiara dengan muka bingung.
          “Aku akan menceritakannya padamu, tapi, berjanjilah kau tak akan menyebarkannya pada yang lain.” Kata Evan yang kemudian dibalas dengan anggukan kepala Tiara.
          “Kemarin, aku melihat Nita sedang duduk bersandar di pojok kelas itu. Tapi, seragamnya penuh dengan darah. Wajahnya juga pucat. Aku yakin, Kevin yang melakukan semua itu. Dia benar-benar sangat bodoh! Tega-teganya ia melakukan hal sekeji itu terhadap kekasihnya sendiri!” cerita Evan yang kembali menunjukkan wajah kesalnya.
          “Apa? Nita? Aku… Aku sangat tak menyangka. Padahal, Nita sangat baik padaku. Kemarin ia membantuku menghabiskan sebuah apel.” Ujar Tiara. Evan melihat wajah Tiara yang sangat jelas melukiskan kesedihannya. Seketika Evan teringat bahwa kemarin ia sempat melihat potongan apel di tangan kanan Nita.
          “Apel itu… kau yang memberinya?” Tanya Evan.
          “Ya. Kemarin aku membawa sebuah apel merah segar. Aku ingin memakannya, tetapi aku tak pernah bisa menghabiskan satu apel seorang diri. Jadi, aku menghampiri Nita dan memintanya untuk menolongku menghabiskan setengah apel itu. Langsung saja aku ambil pisau dan kubelah dua bagian Nita.” Cerita Tiara. Evan hanya menganggukkan kepala.
          Tiara melirik jam tangan coklatnya. “Evan, aku harus pergi sekarang. Ada sesuatu yang harus ku urus.”
          “Oh, ya sudah kalau begitu. Pergilah, akan kubayar semuanya.”
          “Tidak perlu, aku saja yang bayar. Terima kasih sudah mengajakku kemari.” Tiara tersenyum sambil berlari menuju kasir. Ia membayar dua cangkir cappuccino miliknya dan Evan, lalu bergegas keluar dari kafe itu.
Evan hanya berjalan santai menyusuri jalan pagi itu. Sambil berjalan sambil berfikir. Entah kenapa perasaannya mengatakan sesuatu yang aneh baru saja terjadi. Ia melihat Tiara yang agak jauh di depannya berjalan menuju suatu arah. Evan hanya mengikuti hati nuraninya untuk mengikuti Tiara secara diam-diam.
Evan mengikuti Tiara hingga ke rumahnya. Ia melihat Tiara tidak langsung masuk ke rumahnya, namun mengecek tempat sampah di depan rumahnya terlebih dahulu sebelum akhirnya berjalan masuk ke dalam rumah. Evan langsung pergi begitu saja karena tak menyadari adanya sesuatu yang aneh pada Tiara.
“Ah, itu pasti hanya perasaanku saja. Mana mungkin gadis sebaik, secantik dan sepintar dia melakukan sesuatu yang buruk. IQ nya kan tinggi.” Gumam Evan sambil berjalan menyusuri jalanan pagi itu. Ia terdiam sejenak sambil mengingat sesuatu. Sekarang, ia sedikit merasa takut. Namun, Evan tak mau menyimpulkan sesuatu sendiri, ia berencana menanyakan suatu hal kepada Tiara besok, saat pulang sekolah.

|||

Drrrt… Drrrt… Handphone Evan bergetar. Evan langsung mengecek pesan masuk. Ternyata itu adalah pesan dari Andy.
“Aku hanya ingin memberi tahu bahwa selama seminggu ini kita tidak sekolah. Sekolah kita akan digunakan untuk penyelidikan polisi. Tolong beritahukan kepada yang lain.” Begitu kira-kira pesan singkat dari sang ketua OSIS. Evan langsung teringat akan rencananya untuk menanyakan beberapa hal pada Tiara. Ia pun mengajak Tiara untuk bertemu di taman besok sore. Tiara menyetujuinya.

|||
Sore ini, taman yang berada dekat dengan rumah Tiara itu sangat sepi. Tak ada siapapun di sana. Ya, memang seperti ini. Setiap sore di hari senin, orang-orang sibuk dengan sekolah dan kantor mereka atau mungkin asyik di rumah dengan tugas-tugas lainnya.
Tampak Tiara sedang berlari sambil membawa sesuatu di tangannya. Begitu melihat Evan yang sedang duduk menunggu dirinya di bawah pohon, Tiara langsung menuju ke arah Evan.
“Hai, apakah aku telat lagi?” Tanya Tiara yang langsung duduk.
“Hmmm, sebenarnya iya. Tapi tak apa, kau hanya terlambat beberapa menit. Lebih cepat dari kemarin.” Jawab Evan sambil tersenyum. Namun, dirinya tetap saja merasa sedikit takut.
“Baguslah… Ini, aku bawakan kau es teh segar.” Tiara memberikan es teh yang ada di tangan kanannya pada Evan. Satunya lagi, ia minum sendiri untuk dirinya. Evan mengambil es teh yang diberikan Tiara padanya. Evan hanya melihat Tiara yang tampak terburu-buru menghabiskan teh miliknya. Dalam sekejap, teh milik Tiara habis dan hanya menyisakan es batu saja.
“Hey, apa kau begitu haus?” Tanya Evan yang meminum es tehnya dengan santai.
“Haha, ya… Aku merasa sangat gerah dan haus. Minumlah sebelum es itu mencair.” Tiara tertawa.
“Ya, ya… Hmm, apa boleh aku bertanya sesuatu padamu?”
“Tentu saja. Tanyakan segala hal yang kau inginkan.”

“Aku hanya menilai dirimu sebagai seorang Tiara yang baik, cantik, manis, dengan banyak prestasi dan IQ yang tinggi. Maaf aku menanyakan ini, tapi… Mmmm… Apakah kau itu… Seorang...” Evan tak mampu mengatakannya. Ia takut jika ia salah dan akan menyakiti hati Tiara.
“Ya.” Jawab Tiara singkat. Evan menoleh ke arah Tiara.
“Ya untuk apa? Aku belum bertanya apapun padamu.” Tanya Evan dengan terheran-heran. Tiara hanya tersenyum dan tak menjawab apapun. Evan melihat tehnya yang semakin banyak karena es yang sudah mencair. Ia meminumnya untuk menghilangkan rasa gugup dan dahaga.
“Cantik, terkesan baik, pintar dengan IQ yang tinggi, tak terlalu suka bersosialisasi, dan sangat tertutup. Itulah aku. Aku tau kau mengerti, kukira kau sangat bodoh. Jadi, ya… aku adalah seorang gadis dengan cirri-ciri seorang… Kau tau itu.” Tiara kembali tersenyum pada Evan. Namun, kali ini senyuman itu adalah senyuman yang sangat menakutkan baginya. Entah kenapa, tubuh Evan terasa semakin lemah.
“Kau sudah mendapatkan apa yang kau mau. Ku rasa hari sudah semakin gelap. Aku akan pulang duluan, oke? Aku harus membersihkan rumahku. Maaf aku harus meninggalkanmu seperti ini, kuharap kau mimpi indah malam nanti. Sampai jumpa.” Tiara berlari sambil melambaikan tangannya pada Evan yang sudah lemah, terjatuh tak berdaya.

|||

Sudah empat hari Evan tak pernah mengajak Tiara bertemu lagi. Tiara tidak heran lagi karena ia sudah tahu betul apa yang Evan lakukan. Pasti dia senang bermimpi indah di sana, pikir Tiara.
Ia melangkahkan kakinya menuju kamarnya dengan membawa gelas putih bergambar panda yang berisi kopi hangat. Tiara duduk di sofa dan langsung menghidupkan televisi. Akhir-akhir ini ia tak sempat menonton televise untuk sekedar mencari info terbaru. Ia terlalu asik dengan tugas-tugas sekolahnya.
Begitu menghidupkan televisi, langsung muncul berita tentang pembunuhan misterius. Tertera secara jelas tempat kejadiannya. Tiara memerhatikan dengan seksama. Benar saja, semua itu terjadi di sekitar perumahan Tiara, tepatnya di taman yang berada tak jauh dari rumahnya. Sambil menyeduh kopinya, ia memerhatikan berita di televisi dengan seksama.
“Percuma saja menyelidiki siapa pelakunya.” Gumam Tiara. Ia tersenyum tipis sambil memandangi foto dan nama korban di televisi dengan tatapan sinisnya yang menakutkan. Ia langsung mematikan televisinya, “Membosankan, ini tak misterius sama sekali!”. Diraihnya handphone yang berada di atas meja tepat di sebelah sofa. Itu adalah waktu yang sangat tepat karena baru saja ada panggilan masuk dari Kevin. Ia langsung mengangkat panggilan itu dengan semangat. Kevin sangat jarang menghubungi Tiara sejak ia dimiliki oleh Nita.
“Halo?”
“Halo, Tiara. Apa kau mendapat pesan masuk dari teman-teman yang lainnya?” Tanya Kevin yang terdengar sangat terburu-buru.
Tiara menyeduh kopinya yang masih hangat, “tidak ada pesan masuk hari ini.”
“Begini, akan aku ceritakan padamu. Sebenarnya… Oh, tapi, sebelumnya aku ingin kau percaya padaku apapun yang terjadi… Aku benar-benar… Maksudku, aku tak tahu apapun… Dia hanya… Ya, aku masuk dan…” Kevin sangat terbata-bata. Ia terdengar seperti seorang penjahat yang tertangkap basah sedang melakukan kejahatan.
“Kevin, tenanglah. Kontrol dirimu, bersikaplah tenang terlebih dahulu.” Tiara memotong pembicaraan Kevin. Ia sangat tidak fokus dengan apa yang Kevin katakan.
Kevin terdiam sejenak untuk menenangkan dirinya. Ia mencoba untuk mengontrol dirinya, menarik nafas panjang dan menghembuskannya kembali.
“Kau sudah tenang? Baiklah, ceritakan sekarang.” Ucap Tiara.
“Baiklah… Begini, aku sangat terkejut saat mendengar kematian Evan yang sangat misterius. Kau pasti tahu bahwa Evan adalah temanku yang sangat baik. Aku selalu menceritakan semua kekesalan atau kebahagiaan yang aku rasakan padanya.” Jelas Kevin dengan nada yang lemah. Ia terlalu sedih untuk menceritakannya.
“Ya, aku lihat tadi di berita. Aku juga begitu kaget saat mengetahuinya. Pasalnya, kejadian itu terjadi di taman yang berada sangat dekat dengan rumahku. Tenanglah Kevin, aku sangat mengerti perasaanmu.”
“Ya, aku sangat amat sedih. Kesedihanku semakin bertambah saat penyelidikan kematian Nita. Setelah diteliti dengan seksama, polisi mengatakan bahwa hanya ada satu sidik jari di tubuhnya. Yaitu sidik jariku tepat di tangan kiri Nita. Jadi, aku dituduh sebagai penyebab kematian Nita. Padahal aku tak tahu apapun…” Kevin meneteskan air matanya. Ia sudah tak tahan lagi.
“Apakah kau merasa sangat sedih? Maksudku, tentang tuduhan kepada dirimu sebagai pelaku…” Tanya Tiara.
“Ya, sedih, kesal, dan kecewa. Aku juga merasa begitu terpukul atas kematian Nita pada hari dimana itu adalah hari jadi kami satu bulan.”
“Jika kau benar-benar ingin semua kesedihanmu hilang untuk selamanya dan tuduhan itu mereka lepaskan darimu, datanglah ke rumahku. Aku yakin bisa membuatmu bahagia.” Usul Tiara. Kevin langsung menyetujuinya karena kini ia sangat putus asa. Hidupnya seperti hampa tanpa harapan.
Sesampainya Kevin di rumah Tiara, Kevin begitu kaget. Tiara menyambut Kevin dengan sambutan yang hangat. Ia mempersilahkan Kevin untuk masuk dan duduk santai di ruang tamunya. Tiara juga duduk bersebelahan dengannya. Tak lupa Tiara menyiapkan dua cangkir kopi hangat untuk dirinya dan Kevin.
“Kau ingin hidup bahagia tanpa kesedihan dan tuduhan apapun, maka aku berikan semua ini untukmu.” Tiara menatap Kevin disertai dengan senyuman manisnya.
“Tiara, kenapa kau ini? Apa hanya ini caranya?” Tanya Kevin dengan rasa takut yang luar biasa. Ia mengelap keringatnya dengan punggung tangannya yang dingin dan gemetar.
“Ya, hanya ini caranya. Sebenarnya, aku mencintaimu, Kevin, aku sangat menginginkanmu. Aku tak akan membiarkan Nita memilikimu selamanya. Aku juga membenci orang yang menghalang-halangi rencanaku, Evan contohnya. Jadi, sekarang aku bersamamu, aku ada di sampingmu, mendampingimu, dan hanya maut yang akan memisahkan kita. Kuharap kita akan bahagia dan bermimpi indah setiap malam.” Jelas Tiara sambil memeluk Kevin. Kevin hanya terdiam dan meneteskan air matanya.