Haiiiiii
Kali ini mau ngeposting cerita lagi. Tapi tetap sihyaa ini bukan cerita yang gue buat ._.
Nah penulis cerita ini adalah teman gue, yaitu Dinur Khairunnisa :D
Enjoy it!!
###
Namanya Davin.
Tidak
begitu tampan, tetapi manis dengan satu lesung pipi yang selalu terlihat di
pipi kanannya jika ia tersenyum. Matanya coklat, sesuai dengan rambut hitamnya
yang dipotong pendek dan terlihat rapi—tidak begitu rapi sebenarnya, hanya sedikit berantakan. Atlit basket andalan
SMA 47 dengan tinggi 179 cm dan—sebenarnya—berkacamata. Davin hanya akan
mengenakan kacamata jika sedang berada didalam kelas—matanya yang minus 0,80
itu jelas membutuhkan kacamata. Tidak suka warna merah muda, tetapi pemuda itu
suka puding strawberry buatan ibunya
dan Clara. Ia tidak pernah melewatkan jadwal latihan basket pada hari Selasa
dan Kamis setiap pulang sekolah, Clara tau itu.
Tentu
saja, Davin adalah teman dekatnya.
Sejak
pertama kali masuk di kelas XI IPA-3, Davin bertemu Clara dan ia tak bisa jauh
dari Clara, seolah-olah jika ia jauh dari Clara maka ia akan kehilangan oksigen.
Mereka duduk sebangku, kecuali saat pelajaran olahraga—Davin masih berusaha
untuk berbaris didekat gadis itu. Davin terkadang menemani Clara saat berlatih
judo, begitu juga dengan Clara. Namun beberapa hari terakhir ini Clara tidak
menemani Davin karena pemuda itu hanya sibuk tersenyum dan melambaikan tangan
padanya di bangku penonton, tidak fokus latihan sehingga ia dimarahi oleh Pak
Dio.
Clara
sendiri selalu kewalahan setiap hari. Ada saja siswi yang menghampirinya sambil
membawa kado-kado dengan ukuran beragam dan mengatakan, “Titip ini buat Davin,
ya?”. Seperti drama? Clara pun selalu berpikir demikian. Bahkan saat ia akan
mengikuti latihan judo di sekolah pun, beberapa siswi berusaha menyelinap hanya
untuk menitipkan hadiah. Clara sampai hapal siapa saja siswi-siswi yang sering
menitipkan hadiah untuk Davin. Jika sudah begitu, yang bisa Clara lakukan
hanyalah memenuhi laci meja Davin dengan semua kado titipan.
“Lagi?”
Clara
yang tengah sibuk membaca buku catatan Sejarah langsung meoleh, mendapati Davin
yang berdiri sambil melongo disamping meja. Jaket biru tua serta tas hitam
tersampir di bahu tegas pemuda itu. Rambutnya sedikit berantakan hari ini.
“Sebanyak
ini?” gumam Davin, namun Clara masih bisa mendengarnya dengan jelas. Ia menutup
buku catatannya dan duduk menyamping menatap Davin.
“Kalau
yang ini, bukan ulahku. Mereka sendiri yang meletakkannya,” ujar Clara sambil
mengangkat bahu. “Mungkin mereka takut kalau aku tidak memberikan kado titipan
mereka padamu.”
Davin
mendengus, lalu merunduk sambil berusaha mengeluarkan kado-kado dari dalam
lacinya. Beberapa kado jatuh ke lantai, dan Clara langsung membantu temannya
yang terlihat—sangat—kesulitan itu.
“Bagaimana
kamu akan membawa semuanya?’ tanya Clara heran sambil memandangi tumpukan kado
yang mulai menumpuk diatas meja. “Tasmu pasti tidak muat untuk menampung
semuanya.”
“Biarkan
saja,” jawab Davin. “Aku akan mengembalikannya pulang sekolah nanti.”
“Eh?
Memangnya kamu tau, siapa pengirimnya?”
“Aku
akan meletakkannya di sembarang loker,” ujar Davin putus asa. “Aku lelah sekali
kalau setiap hari seperti ini.”
“Berhenti
bermain basket, dan kamu akan hidup dengan aman setiap hari.” Clara tertawa. “Bercandaaa.”
“Jadi,
mereka juga akan berhenti menganggapku keren?” timpal Davin. “Begitu?”
“Aku
tidak mengatakannya, dan itu hanya pemikiranmu saja. Tsk.”
“Kalau
begitu, kamu juga pasti akan berhenti menganggapku keren kan?”
Clara
mendelik dan berhenti membantu Davin. Ia menatap pemuda itu dengan tatapan
heran. Davin? Keren?
“Hei,
hei. Kamu pikir aku selalu menganggapmu keren?”
“Aku
hanya ingin kamu menganggapku keren,” ujar Davin dengan penuh keyakinan. “Aku
akan jadi keren untukmu.”
Kali
ini Clara tidak menyahut. Ia hanya tertawa pelan sambil mencoba menyembunyikan
rona merah di pipinya. Setelah membantu Davin, gadis itu memutuskan untuk
kembali membaca bukunya.
“Clara,”
panggil Davin. “Kamu kenapa? Bagaimana dengan semua ini? Kamu tidak mau
membantuku? Aku kerepotan, Clara.”
“Urus
urusanmu sendiri.”
Plak!
“Akh!”
***
Clara
memandangi kotak kecil itu dengan tatapan heran.
Ia
terus menatap kotak yang dibungkus dengan kertas kado dengan motif garis
warna-warni itu, kemudian beralih menatap Davin yang duduk disampingnya. Pemuda
tinggi itu tengah sibuk menyantap setumpuk pancake
dengan sirup maple serta es krim vanilla buatan ibunya sambil menonton
televisi yang menayangkan sebuah film action.
Bersantai di rumah Davin pada hari minggu adalah agenda rutin yang tidak pernah
dilewatkan mereka.
“Ini
apa?” tanya Clara. “Hadiah yang tidak kamu suka?”
“Tidak,”
jawab Davin. “Buka saja, itu untukmu.”
“Ini
bukan kado dari penggemarmu itu, kan?” Clara meringis. “Kamu membuka kado itu,
dan kamu tidak suka, lalu kamu membungkusnya lagi kemudian memberikannya
padaku. Benar begitu?”
Davin
memutar matanya. Ia meletakkan garpu diatas piring dan meletakkannya diatas
meja kaca, kemudian duduk menyamping menghadap Clara yang kini tengah memegang
kadonya.
“Tentu
saja bukan. Aku tidak sebodoh dan setega itu. semua kado dari mereka sudah
kuletakkan di sembarang loker kemarin.” Davin memutar matanya. “Yang ini,
benar-benar hadiah dariku. Hadiah yang sangat
serius. Buka saja.”
Sedikit
ragu, Clara akhirnya membuka kado kecil itu. Matanya membulat ketika melihat
kotak dengan tulisan Cartier yang tertutup oleh kertas kado. Ia membuka kotak
itu, dan sebuah gelang yang berkilau langsung membuatnya bergumam tak percaya.
“Astaga,
Davin. Ini—“ tangannya bergerak menyentuh gelang itu. “—Cartier? Kamu
bercanda?!”
“Itu
untukmu,” ujar Davin sambil tersenyum. “Sudah kubilang, kan?”
Clara
tak bisa menahan senyumnya saat Davin mulai mengacak-acak rambut hitamnya yang
dibiarkan terurai. Ia kembali melihat gelang yang ada ditangannya, kemudian
menyadari ada selembar kertas kecil didalam kotak gelang itu.
“Kau
juga membuat surat?” tanya Clara sambil meraih kertas yang terselip di kotak
gelang. Davin terkesiap dan langsung menggeleng, kemudian mencoba menahan
gadisitu agar tak membaca suratnya.
“Jangan
dibaca sekarang,” jawab Davin sambil mencoba menyembunyikan kepanikannya. “Baca
itu seminggu lagi, jadi kau harus menunggu.”
“Memangnya
ini apa?”
“Aku
tidak akan memberitahumu~” Davin tertawa dan kembali menyantap pancake-nya, sementara Clara mulai
merengut dan mencoba memukul-mukul lengan Davin.
“Cepat
katakaaan.”
“Aku
tidak akan mengatakannya sekarang, Clara.”
“Davin,
kamu tau aku tidak suka kejutan seperti ini.”
“Tidaak~”
“Daviiin.”
***
“Pindah?”
Davin
hanya mengangguk, tangannya yang memegang sendok kecil sibuk bergerak
menyuapkan puding strawberry dengan
vla dingin buatan Clara di rumah gadis itu. Mereka tengah mengerjakan tugas
Matematika, Clara memutuskan untuk menyelesaikan semua tugas dirumahnya karena
keluarganya sedang pergi dan ia tidak suka tinggal sendirian di rumah.
“Apa
kamu pindah karena...perkataanku kemarin?” tanya Clara. “Karena aku
menganggapmu tidak keren.”
Davin
tertawa, dan ia nyaris tersedak puding yang baru saja masuk kedalam mulutnya.
“Jangan
berlebihan, aku pindah bukan karena itu.”
“Lalu
apa?” desak Clara tidak sabaran. “Aku tidak suka kalau kamu merahasiakan
sesuatu seperti ini.”
“Ini
terlalu cepat, ya?” Davin meringis. “Aku tau, aku sendiri juga tidak menyangka
ini akan terjadi.”
Clara
tidak menyahut. Ia menunggu Davin kembali berbicara. Saat pemuda itu menghela
napas dan menyendokkan puding dengan lesu, Clara tau sesuatu yang buruk telah terjadi.
“Sudah
dua tahun lebih, dan aku baru mengetahuinya sekarang,” gumam Davin. “Begitu aku
mengerti, aku langsung tau kalau permasalahan ini tidak akan pernah berakhir.
Mungkin tidak ada ujungnya.”
“Aku tidak tau
bagaimana harus mengatakannya—“ Davin meringis. “—aku harus ikut dengan ibuku. Kembali ke luar negeri.”
Kali
ini Clara tau pasti kemana arah pembicaraan Davin. Ia memandangi temannya itu
dengan tatapan sedih, mencoba menghiburnya dengan menepuk-nepuk pelan lengan
pemuda itu sambil tersenyum.
“Semuanya
akan baik-baik saja,” ujar Clara menenangkan. “Kamu temanku, Davin. Aku yakin
semuanya akan baik-baik saja, aku akan menemanimu.”
Davin
membalas senyum Clara dengan senyuman lesu, sambil menunduk ia meraih tangan
Clara lalu mengusap gelang Cartier yang ternyata dipakai gadis itu.
“Terima
kasih.”
***
Clara
melangkahkan kakinya dengan ringan menuju ruang kelas. Gelang Cartier di tangan
kanannya berkilau ketika tangannya yang membawa sebuah kotak makan siang
terangkat. Sambil tersenyum, Clara duduk di bangkunya dan memikirkan sesuatu.
Ia mempunyai rencana ‘rahasia’ untuk Davin hari ini. Davin pasti suka, pikirnya.
Clara
terus melihat-lihat kearah pintu kelas, menunggu Davin masuk dengan senyum
lebarnya dan duduk dengan posisi aneh disebelahnya. Namun hingga bel tanda
masuk berbunyi dan Pak Teo sudah masuk ke kelas, Davin tidak juga datang.
Apa
dia terlambat?
Tidak,
Davin tidak pernah sekalipun terlambat.
Lalu,
kemana dia?
Seminggu
sudah berlalu, dan Davin masih tidak masuk sekolah hari itu. Pikiran Clara
tidak pernah fokus setiap kali ia memandangi meja kosong disebelahnya. Tidak
ada Davin. Tidak ada kado-kado yang menumpuk. Tidak ada lagi yang menemuinya
untuk menitipkan kado pada Davin. Semuanya menjadi sangat berbeda.
Clara
masih berjalan menyusuri koridor sambil menunduk. Ia terlihat murung. Entah
kenapa, Clara selalu memikirkan Davin dan juga saat-saat mereka
menghabiskanwaktu bersama. Lalu ia teringat sesuatu.
“Baca itu seminggu lagi, jadi kau harus
menunggu.”
Surat
Davin!
Dengan
tergesa gadis itu membuka-buka tasnya, mencari secarik kertas yang selalu ia
selipkan di dompetnya. Ketika ia menemukan kertas itu, seseorang menarik
tangannya menuju kelas. Rupanya itu adalah Ana, teman sekelas Clara.
“Hei,
ada apa?” tanya Clara heran sekaligus panik. “Kenapa?”
“Ada
pesan yang sangat penting untukmu,” jawab Ana tanpa menoleh menatap Clara. “Kau
harus membacanya sekarang.”
Kali
ini Clara hanya mengikuti langkah kaki Ana. Sambil memegang erat kertas dari Davin,
ia memasuki kelas yang sudah dipenuhi beberapa siswa dan siswi yang tengah
menatap papan tulis.
“Bacalah,
disana.” Ana menunjuk papan tulis dan Clara hanya mengerjapkan matanya. Ia
berdiri di depan papan tulis dan membaca tulisan disana, tulisan yang sangat ia
kenali.
‘Hai, Clara.
Aku tau, meninggalkan pesan di papan
tulis bukanlah hal yang keren. Semua orang bisa saja membacanya, kan? Tapi
pesan ini tetap keren, karena yang menulisnya adalah aku. Aku keren.’
Clara
tertawa dan mencoba menahan air mata yang mulai keluar, lalu kembali membaca
tulisan itu lagi.
‘Clara, terima kasih banyak. Untuk 200
hari yang menyenangkan, untuk puding strawberry
yang enak, untuk jawaban-jawaban pekerjaan rumah dan saat ulangan, terima
kasih banyak.
Disaat yang tepat, aku berjanji, Clara.
Kita akan bertemu lagi dan aku akan semakin keren untukmu. Ah, aku tidak bisa
jadi romantis, tapi setidaknya aku keren.
Clara, 1 4 3... –D
P.S : Kau bisa membaca surat itu
sekarang J’
“Ini
dari Davin, kan?” tanya Ana. “Apa dia akan pindah?”
Clara
tidak menjawab. Ia hanya mengangkat bahunya dan matanya masih menatap tulisan
itu. Clara merunduk dan menatap kertas yang dipegangnya, kemudian ia berlari
keluar kelas menuju lapangan.
Tidak
ada apa-apa disana.
Ya,
Clara tau itu. Ini bukanlah drama yang sering ia lihat. Davin tidak akan muncul
tiba-tiba sambil membawa bunga dan menunjukkan senyum perpisahan. Davin tidak
akan datang lalu memeluknya dan mengatakan, “Maafkan aku.”
Clara
kemudian membuka kertas yang sedari tadi dipegangnya dengan erat, lalu mulai
membaca tulisan disana.
‘Clara...
Kamu adalah gadis terbaik yang pernah aku
temui. Astaga, apa istilah itu terlalu berlebihan? Kamu benar-benar teman
baikku. 200 hari terasa tidak membosankan, aku menyukainya. Aku tidak romantis,
aku tidak tau apa yang harus aku tulis agar membuatmu tersentuh dan menangis.
Aku tidak bisa menulisnya. Tapi yang jelas, Clara.
Aku menyukaimu.
Mungkin ini terlambat, tapi aku tidak mau
menyakiti perasaanmu. Mungkin juga lebih baik jika aku mengatakannya saat aku
akan pergi, karena jika aku mengatakannya sebelum aku pergi, aku akan
meninggalkanmu. Aku tidak suka meninggalkanmu, Clara.
Clara, aku yakin kita akan bertemu lagi.
Jika kita bertemu lagi, aku akan membawamu pergi dan aku akan terus mengatakan
‘aku menyukaimu’ setiap kakiku melangkah, karena aku benar-benar menyukaimu.
Aku tidak romantis, tapi aku keren.
Benar, kan?
-Davin
Clara
tak bisa menahan air matanya lagi. Ia melipat kertas itu dan mencoba mengusap
pipinya yang mulai basah. Gelang Cartier ditangannya kembali berkilau terkena
sinar matahari. Clara menatap gelang itu sebentar, sebelum akhirnya mengangkat
kepala dan memandangi langit yang teduh.
I’ve always thought that one day...
You would sprout wings...
And fly off somewhere with me...
We
will fly off somewhere...
Together...
###
And this is another cove of "Fall In"
Merkur 34C Safety Razor with Bar, Short Handle, Chrome - DECCASINO
BalasHapusThe Merkur 34C is a classic safety razor. This razor features a deccasino chrome plated head and a double head design with a 온카지노 classic 메리트 카지노 쿠폰 chrome plated handle. The long